Tuesday, July 11, 2006

Dalam doaku
Sapardi djoko damono


Dalam doaku subuh ini kau menjelma langit yang
Semalaman tak memejamkan mata, yang meluas
Bening siap menerima cahaya pertama, yang
Melengkung hening karena akan menerima
Suara-suara

Ketika matahari mengambang tenang di atas kepala,
Dalam doaku kau menjelma pucuk-pucuk cemara yang hijau senantiasa,
Yang tak henti-hentinya mengajukan pertanyaan muskil kepada angin yang mendesau entah dari mana

Dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung gereja
Yang mengibas-ngibaskan bulunya dalam gerimis,
Yang hinggap di ranting, dan menggugurkan
Bulu-bulu bunga jambu, yang tiba-tiba gelisah
Dan terbang lalu hinggap di dahan mangga itu

Magrib ini dalam doaku kau menjelma angin
Yang turun sangat perlahan dari nun disana,
Bersijingkat di jalan kecil itu menyusup
Dicelah-celah jendela dan pintu,
Dan menyentuh-nyentuhkan pipi dan bibirnya
di rambut, dahi dan bulu-bulu mataku

dalam doa malamku kau menjelma denyut jantungku,
yang dengan sabar bersitahan terhadap rasa sakit
yang entah batasnya, yang setia mengusut
rahasia demi rahasia, yang tak putusputusnya
bernyanyi bagi kehidupanku

Aku mencintaimu, itu sebabnya aku tak akan pernah
Selesai mendoakan keselamatanmu.

AKU PEREMPUAN

Kata ulama aku perempuan, jadi harus menutup aurat
Kata pengusaha aku perempuan, jadi bisa dijual
Kata penodong aku perempuan, jadi bisa disikat
Kata seniman aku perempuan, jadi bisa dibuka bajunya demi keindahan
Kata Koran aku perempuan, jadi harus berdandan
Kata toko aku perempuan, jadi harus konsumtif
Kata sinetron aku perempuan, jadi harus cengeng
Kata bapa aku perempuan, jadi harus di rumah
Kata pacar aku perempuan, jadi harus menggugurkan kandungan
Kata suami aku perempuan, jadi harus ikut KB
Kata Tuhan aku perempuan, jadi aku harus apalagi?

THE DAY WILL COME
Sapardi Djoko Damono

The day will come
When my body no longer exists
But in the lines of this poem
I will never let you be alone

The day will come
When my voice is no longer heard
But within the words of this poem
I will continue to watch over you

The day will come
When my dreams are no longer known
But in the spaces found in the letters of this poem
I will never tired of looking for you

NOCTURNE
Sapardi Djoko Damono

I let the starlight possess you
I let the pale and ever-restless wind,
That suddenly changes into a sign, take you from me
I know not when I might have you

Friday, June 27, 2003

Apa yang Mengejarmu
-kepada Mei

Kau terbangun dari tidur
Pagi dingin oleh keringat birahi
Lalu kau rasakan tubuhmu begitu letih
Apa yang telah terjadi
Mungkin kau bermimpi
Tapi apa yang mengejarmu semalam
Hingga kau berlari begitu kencang
Menuju satu titik samar
Bernama angan
Mungkin obsesi
Tapi apa yang mengerjamu
Titik itu tidak ke mana-mana
Kau tahu kau akan mencapainya
Kau tahu kau bisa mencapainya

Pondok Indah, 27/6/2003: 16.04 WIB
(mumu)

Tuesday, January 07, 2003


Puisi Paling Sedih
(Pablo Neruda)

aku bisa saja menulis puisi paling sedih malam ini.

misalnya, menulis: "malam penuh bintang,
dan bintang bintang itu, biru, menggigil di kejauhan."

angin malam berkelit di langit sambil bernyanyi.

aku bisa saja menulis puisi paling sedih malam ini.
aku pernah mencintainya, dan kadang-kadang dia pernah mencintaiku
juga.

di malam-malam seperti ini, aku rangkul dia dalam pelukan.
aku ciumi dia berkali kali di bawah langit tak berbatas.

dia pernah mencintaiku, kadang-kadang aku pun mencintainya.
bagaimana mungkin aku tak akan mencintai matanya yang besar dan
tenang itu?

aku bisa saja menulis puisi paling sedih malam ini.
kerna aku tak memilikinya. kerna aku kehilangan dia.

kerna malam begitu mencekam, begitu mencekam tanpa dirinya.
dan puisiku masuk dalam jiwa seperti embun pada rumputan.

tak apa kalau cintaku tak bisa di sini menahannya.
malam penuh bintang dan tak ada di sini dia.

begitulah. di kejauhan, seseorang menyanyi. di kejauhan.
jiwaku mati kini tanpa dia.

kerna ingin menghadirkannya di sini, mataku mencarinya.
hatiku mencarinya dan tak ada di sini dia.

malam yang itu itu juga, yang membuat putih pohonan yang itu itu juga.
kami, yang dulu satu, tak lagi satu kini.

aku tak lagi mencintainya, benar, tapi betapa cintanya aku dulu
padanya.
suaraku menggapai angin hanya untuk menyentuh telinganya.

milik orang lain. dia akan jadi milik orang lain. seperti dia dulu
milik ciuman ciumanku.
suaranya, tubuhnya yang kecil. matanya yang memandang jauh.

aku tak lagi mencintainya, benar, tapi mungkin aku mencintainya.
cinta begitu pendek dan memori begitu singkat.

kerna di malam malam seperti ini dulu aku rangkul dia dalam pelukan,
jiwaku mati kini tanpa dirinya.

mungkin ini luka terakhir yang dibuatnya,
dan ini puisi terakhir yang kutulis untuknya.

-terjemahan Saut Situmorang

Wednesday, September 18, 2002


How I Became a Madman

By Kahlil Gibran

You ask me how I became a madman. It happened thus: One day, long before many gods were born, I woke from a deep sleep and found all my masks were stolen -- the seven masks I have fashioned and worn in seven lives -- I ran maskless through the crowded streets shouting, "Thieves, thieves, the cursed thieves."

Men and women laughed at me and some ran to their houses in fear of me.

And when I reached the market place, a youth standing on a house-top cried, "He is a madman." I looked up to behold him; the sun kissed my own naked face for the first time. For the first time the sun kissed my own naked face and my soul was inflamed with love for the sun, and I wanted my masks no more. And as if in a trance I cried, "Blessed, blessed are the thieves who stole my masks."

Thus I became a madman.

And I have found both freedom and safety in my madness; the freedom of loneliness and the safety from being understood, for those who understand us enslave something in us.

But let me not be too proud of my safety. Even a Thief in a jail is safe from another thief.


Monday, August 26, 2002


"In the Wee Small Hours of the Morning"

Writer(s): Mann/Hilliard


In the wee small hours of the morning
While the whole wide world is fast asleep
You lie awake and think about the girl
And never ever think of counting sheep

When your lonely heart has learned its lesson
You'd be hers if only she would call
In the wee small hours of the morning
That's the time you miss her most of all


Thursday, August 22, 2002

When The Stars Go Blue


Dancin' where the stars go blue
Dancin' where the evening fell
Dancin' in your wooden shoes
In a wedding gown

Dancin' out on 7th street
Dancin' through the underground
Dancin' little marionette
Are you happy now?

Where do you go when you're lonely
Where do you go when you're blue
Where do you go when you're lonely
I'll follow you
When the stars go blue

Laughing with your pretty mouth
Laughing with your broken eyes
Laughing with your lover's tongue
In a lullaby

Where do you go when you're lonely
Where do you go when you're blue
Where do you go when you're lonely
I'll follow you
When the stars go blue

JANJI
-Hagar Peeters

Dia tak muncul.
Barangkali sakit atau tertabrak
trem, barangkali orang lain
menyapanya. Barangkali dia lupa jam tangannya
atau jam tangan lupa menunjukkan waktu.
Barangkali mobilnya tak mau menyala
atau rusak di tengah jalan.
Barangkali ada yang meneleponnya
tepat sebelum berangkat,
dengan kabar dia harus ke kremasi
atau bahwa ibunya meninggal.
Barangkali dia bertemu kenalan lama.
Barangkali dia sedang bertengkar di tempatnya kerja
kemudian dipecat dan menyembunyikan kepala
di bawah bantal. Barangkali jembatan membuka,
juga yang berikutnya.
Barangkali lampu lalu-lintas tetap merah.
Barangkali kartu banknya ditelan mesin uang
atau di tengah jalan dia lupa dompetnya.
Barangkali dia kehilangan kaca mata
tak bisa berhenti membaca
ada acara di TV yang ingin dia tonton sampai tamat
pintu rumahnya tak bisa dikunci
dia kehilangan gepokan kunci,
dan tiba-tiba anjingnya mulai muntah.
Barangkali tak ada telepon di sekitarnya,
alamat restorannya tak bisa dia temukan
atau dengan tak sengaja dia menunggu
di tempat berbeda.
Barangkali -kemungkinan terakhir
yang tak terpahami dan tak terduga-
dia tak lagi mencintaiku.

(Diterjemahkan oleh Linde Voute dan Agus R. Sarjono)

BAGAIMANA JIKA KUTEMANI ENGKAU BERJALAN SEDIKIT LAGI?
-Hagar Peeters

Tentu boleh. Kau boleh menemaniku sampai lampu setopan,
atau sampai terowongan berikut.
Sampai jalan yang ketiga sebelah kanan,
sampai pintu masuk kebun raya.
Sampai rumah sakit, sampai lewat rumah sakit
sampai pintu depan rumahku.

Kau boleh menemani aku sampai kamarku,
sampai minum segelas salah satu minumanku,
sampai selesai menggosok gigi
atau sampai semburat cahaya pagi
menyinari kursi tempat hempasan pakaian.

Sampai buruh bangunan mulai bekerja,
sampai sekolah kembali bermula,
para pegawai istirahat
toko-toko tutup, atau kereta-api terakhir berangkat.

Sampai bangun kembali namun belum sarapan,
sesudah sarapan tetapi sebelum makan siang,
sesudah makan siang tetapi sebelum makan malam
engkau boleh menemaniku.

(Diterjemahkan oleh Linde Voute dan Agus R. Sarjono)
Hagar Peeters, penyair wanita dari Belanda, salah satu penampil di acara Festival Puisi Internasional Indonesia 2002 di
Bandung, 11-13 April 2002.